Minggu, 23 Agustus 2009

Puasa

"Wahai, manusia! Telah datang kepada kalian bulan Allah dengan berkah, rahmat dan maghfirah (keampunan)- Nya. Bulan paling mulia disisi Allah. Hari-harinya adalah hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam yang utama. Jam demi jam adalah jam yang paling utama. Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tetamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini nafas-napasmu merupakan tasbih, tidurmu ibadah, amal-amal baikmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca kitab-Nya.


Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu, saat kelaparan dan kehausan dihari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fukara dan masakin. Muliakanlah orang tuamu. Sayangilah yang muda. Sambungkanlah tali persaudaraanmu. Jaga lidahmu. Tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya, dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak yatim niscaya anak-anakmu dikasihi manusia. Bertobatlah kamu kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu-waktu shalatmu, karena itulah saat-saat utama ketika Allah 'Azza wa Jalla memandang hamba-hamba- Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.


Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena dosamu, maka ringankanlah dengan sujudmu. Ketahuilah! Allah Ta'ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang Shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri dihadapan Rabbul 'Alamin.


Wahai manusia ! Barang siapa diantaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka disisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak, dan ia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu."

Sahabat-sahabat bertanya: "Ya Rasulullah! Tidaklah kami semua mampu berbuat demikian."

Rasulullah meneruskan: "Jagalah dirimu dari api neraka, walaupun hanya dengan seteguk air. Wahai manusia! Siapa yang membaguskan akhlaknya pada bulan ini akan berhasil melewati shirat (jembatan menuju surga) pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan memudahkan pemeriksaan- Nya dihari kiamat. Barang siapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa menyambungkan silaturahmi di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barang siapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari neraka. Barang siapa melakukan shalat fardhu, baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardhu di bulan lainnya.

Barang siapa memperbanyak shalawat di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangan amal baiknya pada hari ketika timbangan yang lain ringan. Barang siapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Qur'an, sama nilainya dengan mengkhatam Al-Qur'an pada bulan yang lain.

Wahai manusia ! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar Ia tidak akan pernah menutupkannya lagi. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonkan kepada Tuhanmu agar Ia tidak pernah membukanya bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka bermohonlah kepada Tuhanmu agar mereka tidak lagi menguasaimu. "

Ali ibn Thalib ra berkata: "Saya bertanya ya Rasullullah, apakah amal (perbuatan) yang terbaik dalam bulan ini?"

Beliau menjawab: "Wahai Abu Hasan, amal yang terbaik dalam bulan ini ialah menjauh dari apa yang dilarang Allah."

Jumat, 16 Januari 2009

Sucikanlah 4 hal dengan 4 perkara :

"Wajahmu dengan linangan air mata keinsafan, Lidahmu basah dengan berzikir kepada Penciptamu, Hatimu takut dan gementar kepada kehebatan Rabbmu, ..dan dosa-dosa yang silam di sulami dengan taubat kepada Dzat yang Memiliki mu."

10 Sahabat Rasullah SAW yang Dijamin Masuk Surga
Posted by Saptono under Islam , Rasulullah SAW , Shirah Nabawiah

بسم الله الرحمن الرحيم

Di bawah ini diceritakan tentang sepuluh sahabat Rasullullah SAW yang telah dijamin masuk surga disertai penjelasan tentang nasab dan keluarga mereka. Sumber artikel diambil dari www.islamhouse.com
1. Abu Bakar as Siddiq ra
Nama aslinya adalah Abdullah bin abi Quhafah.
Ayahnya, Abu Quhafah yang nama aslinya adalah Usman bin Amir bin Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ai bin Ghalib atTaimiy al Qurosy, bertemu silisilah/keturunan dengan Rasulullah saw di Murrah bin Ka’b.
Ibu Abu Bakar adalah Ummul Khair Salma binti Shokhr bin Amir bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah.
Usia beliau 63 tahun, sama seperti Rasulullah saw. Dia termasuk orang yang pertama masuk islam. Manusia terbaik setelah Rasulullah saw. Mengemban kekhilafahan selama 2,5 tahun. Riwayat-riwayat lain menyebutkan 2 tahun 4 bulan kurang 1 hari; 2 tahun;20 bulan
Putera-puterinya
1. Abdullah, awal masuk islam sehingga termasuk sahabat. Di saat Rasulullah saw dan Abu Bakar bersembunyi di dalam goa menghindari kejaran kafir Quraisy, ia pernah masuk goa itu juga. Dia terkena anak panah di Thaif, meninggal di saat ayahnya mengemban khilafah.
2. Asma’, pemilik dua ikat pinggang. Istri Zubeir bin Awwam. Hijrah ke Madinah di saat mengandung Abdulllah bin Zubeir. Sehingga Abdullah merupakan orang islam pertama yang lahir setelah hijrah. Ibu Asma’ adalah Qutailah binti Abdul Uzza berasal dari Bani Luay meninggal dalam keadaan kafir.
3. dan 4. Aisyah binti as-Siddiq, istri Nabi. Ia memiliki saudara seayah dan seibu yaitu Abdurrahman bin Abu Bakar, yang berada di barisan kaum musyrikin pada perang Badar, namun setelah itu ia masuk islam. Ibu Aisyah adalah Ummu Ruman binti Amir bin Uaimir bin Abdu Syams bin Attab bin Udzinah bin Subai’ bin Duhman bin al Harits. Masuk islam, dan ikut hijrah ke madinah dan wafat di zaman Rasulullah saw.
Cucu Abu Bakar: Abu Atik Muhammad bin Abdurrahman lahir di zaman Rasulullah saw, termasuk sahabat. Sehingga kami tidak tahu keluarga lain (selain Abu Bakar) yang dengan empat keturunan, semuanya tergolong sahabat (ayah Abu Bakar-Abu Bakar- Abdurrahman-Abu Atik)
5. Muhammad bin Abu Bakar. Lahir pada zaman haji wada’. Meninggal di Mesir dan dikuburkan di sana. Ibunya adalah Asma’ binti Umais al Khots’amiyyah.
6. Ummu Kultsum binti Abu Bakar. Lahir setelah Abu Bakar wafat. Ibunya adalah Habibah, riwayat lain menyebutkan Fakhitah binti Kharijah bin Zaid bin Abu Zuhair al Anshari. Ia dinikahi Thalhah bin Ubaidillah.
Keenam putera-puteri Abu Bakar adalah sahabat Nabi, kecuali Ummu Kultsum. Sementara Muhammad lahir masih zaman Nabi. Abu Bakar wafat pada tanggal 27 Jumadil Akhir 13H.
2. Abu Hafs Umar bin Khatab ra
Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razakh bin Adiyy bin Ka’b bin Lu’ai bin Ghalib. Bertemu silisilah/keturunan dengan Rasulullah saw di Murrah bin Ka’b.
Ibunya adalah Khantamah binti Hasyim. Riwayat lain menyebutkan binti Hisyam bin al Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum.
Umar masuk Islam di Mekah, dan mengikuti seluruh peperangan bersama Rasulullah saw
Putera-puterinya
1. Abu Abdurrahman Abdullah. Masuk Islam pada awal datangnya Islam. Berhijrah bersama ayahnya. Dan dia termasuk sahabat pilihan.
2. Hafshah, istri Nabi saw. Ibu Hafshah adalah Zaenab binti Math’un.
3. Ashim bin Umar. Lahir pada zaman Rasulullah saw. Ibunya adalah Ummu Ashim Jamilah binti Tsabit bin Abi al Aqlah.
4 dan 5. Zaid al Akbar bin Umar, dan Ruqayyah putri Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib.
6. Zaid al Ashghar dan Abdullah, keduanya putera Ummu Kultsum binti Jarwal al Khuzza’i.
7 dan 8. Abdurrahman al Akbar bin Umar dan Abdurrahman al Ausath, Abu Syahmah yang didera akibat minum khomr. Ibunya adalah Ummu Walad yang juga disebut Lahyah.
9. Abdurrahman al Ashghar bin Umar. Ibunya adalah Ummu Walad yang juga disebut Fakihah.
10. Iyadh bin Umar. Ibunya adalah Atikah binti Zaid bin Amr bin Nufail.
11. Abdullah al Ashghar bin Umar. Ibunya adalah Saidah binti Rafi’ al Anshariyyah. Dari Bani Amr bin Auf.
12. Fathimah binti Umar. Ibunya adalah Ummul Hakim binti Harits bin Hisyam.
13. Ummul Walid binti Umar. Tetapi kebenaran masih perlu diteliti lagi.
14. Zaenab binti Umar. Saudara Abdurrahman al Ashghar bin Umar.
Umar mengemban kekhalifahan selama 10 tahun 6,5 bulan. Terbunuh pada akhir DzulHijjah 23 Hijriyah, pada usia 63 tahun sesuai dengan usia Rasulullah saw. Akan tetapi ada perselisihan pendapat tentang usia beliau ini.
3. Abu Abdullah Ustman bin Affan ra
Ia adalah cucu dari Abu al Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Nasab keturunannya bertemu dengan Rasulullah saw di Abdu Manaf, yang merupakan kakek ke lima.
Nama ibunya adalah Arwa binti Kuraiz bin Rabiah bin Habib bin Abdi Syams bin Abdu Manaf. Sementara ibunya adalah putri Ummul Hakim al Baidha’ binti Abdul Muthalib.
Utsman masuk Islam pada awal datangnya Islam di Mekah. Melakukan hijrah 2 kali (Habasayah dan Medinah). Menikahi 2 puteri Rasulullah saw. Mengemban kekhilafahan selama 12 tahun kurang 10 hari. Ada riwayat menyebutkan kurang12 hari. Terbunuh pada 18 Dzul Hijjah tahun ke-35 Hijriah ba’da Ashar. Saat itu ia sedang puasa. Ia meninggal pada usia 82 tahun.
Putera-puterinya:
1. Abdullah al Akbar, dilahirkan oleh Ruqayyah, puteri Rasulullah saw. Meninggal dunia pada usia 6 tahun. Rasulullah saw ikut masuk liang lahat saat penguburannya.
2. Abdullah al Ashghar, dilahirkan oleh Fakhitah binti ‘Azwan, saudari Utbah.
3, 4, 5 dan 6. Umar, Khalid, Aban dan Maryam. Mereka dilahirkan oleh Ummu Amr binti Jundab bin Amr bin Humamah dari kabilah Azd daerah Daus.
7, 8 dan 9. Al Walid, Said dan Ummu Amr. Mereka dilahirkan oleh Fatimah binti Walid bin Abdu Syams bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum.
10. Abdul Malik. Dia tidak mempunyai keturunan. Meninggal dunia tatkala telah dewasa. Dia dilahirkan oleh Ummul Banin binti Uyainah bin Hisn bin Hudzaifah bin Zaid.
11, 12, 13. Aisyah, Ummu Aban dan Ummu Amr. Mereka dilahirkan oleh Ramlah binti Syaibah bin Rabiah.
14,15,16. Ummu Khalid, Arwa dan Ummu Aban as Sughra. Mereka dilahirkan oleh Nailah binti Farafishah bin Ahwas bin Amr bin Tsa’labah bin Harits bin Hisn bin Dhamdham bin Adyy bin Janab bin Kalb bin Wabrah.
4. Abu al Hasan Ali bin Abi Thalib ra
Dia adalah cucu Abdul Mutthalib, sepupu Rasulullah saw. Dia dilahirkan oleh Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Fatimah adalah wanita Bani Hasyim pertama yang melahirkan keturunan dari Bani Hasyim. Masuk Islam di Mekah lalu hijrah ke Madinah dan wafat pada zaman Rasulullah saw.
Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fatimah puteri Rasulullah saw. Kemudian lahirlah Hasan, Husein dan Muhassin dari pernikahan ini. Tetapi Muhassin wafat tatkala masih kecil.
Putera-puterinya yang lain
1. Muhammad bin Hanafiah. Ia dilahirkan oleh Khaulah binti Ja’far, dari Bani Hanifah.
2 dan 3. Umar bin Ali dan saudarinya Ruqayyah al Kubro.
4. Al Abbas al Akbar bin Ali, disebut juga as-Saqa. Ia terbunuh bersama Husein.
5, 6, 7, 8. Usman, Ja’far, Abdullah dan Banu Ali. Mereka saudara seayah dan seibu al Abbas al Akbar. Adapun ibu mereka adalah Ummul Banin al Kilabiyah.
9 dan 10. Ubaidullah dan Abu Bakar. Mereka tidak punya keturunan. Mereka dilahirkan oleh Laila binti Mas’ud anNahsyaliyyah.
11. Yahya bin Ali. Meninggal saat masih kecil. Lahir dari Asma’ binti Umais.
12. Muhammad bin Ali alAshghar. Ibunya adalah seorang budak yang bernama Daraj.
13 dan 14. Ummul Hasan dan Ramlah. Mereka dilahirkan Ummu Sa’d binti Urwah bin Mas’ud ats Tsaqofi.
15,16,17,18,19,20,21,22,23,24,25. Zaenab as Sughra, Ummu Kultsum as Sughra, Ruqayyah as Sughra, Ummu Hani’, Ummul Kiram, Umu Ja’far (nama aslinya Jumanah), Ummu Salamah, Maimunah, Khadijah, Fatimah, dan Umamah. Mereka ini dilahirkan dari para ibu yang berbeda-beda.
Ali mengemban kekhilafahan selama 4 tahun 7 bulan lebih beberapa hari. Ada beberapa pendapat berbeda mengenai hari. Ia mati terbunuh saat usianya 63 tahun. Ada beberapa riwayat lain menyebutkan 53 tahun, 58 tahun, 57 tahun. Pada saat itu disebut tahun Jama’ah, tahun 40 H.
5. Abu Muhammad Thalhah bin Ubaidillah ra
Ia cucu Usman bin Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Luayy bin Ghalib. Bertemu silisilah/keturunan dengan Rasulullah saw di Murrah bin Ka’b.
Ibu Thalhah adalah Sha’bah binti Khadrami, saudari al Ala’ bin Khadrami. Nama aslinya al Khadrami adalah Abdullah bin Abbad bin Akbar bin Auf bin Malik bin Uwaif bin Khazraj bin Iyadh bin Sidq. Ibunya masuk Islam dan wafat dalam Islam.
Thalhah masuk islam pada awal datangnya islam di Mekah. Turut serta dalam Perang Uhud dan peperangan setelahnya. Dia tidak turut dalam Perang Badar karena saat itu ia di Syam untuk berdagang. Tetapi Rasulullah saw memberikannya harta rampasan perang Badar dan menetapkannya sebagai ahli Badar.
Putera-puterinya:
1 dan 2. Muhammad asSajjad dan Imran. Muhammad asSajjad terbunuh bersama ayahnya. Kedua putera tersebut dilahirkan Hamnah binti Jahsy.
3. Musa bin Thalhah. Dilahirkan Khaulah binti Qo’qo’ bin Ma’bad bin Zurarah.
4,5,6. Ya’kub, Ismail, Ishaq. Mereka dilahirkan Ummu Aban binti Utbah bin Rabiah.
7 dan 8. Zakaria dan Aisyah. Dilahirkan Ummu Kultsum binti Abu Bakar as Shiddik ra.
9. Ummu Ishaq binti Thalhah. Dilahirkan Ummul Haris binti Qasamah bin Handzalah at Thaiyyah.
Seluruh putera puteri Thalhah 11 orang. 2 anak yang lain ada riwayat yang menyebutkan Usman dan Shalih, namun riwayat ini kurang kuat.
Thalhah terbunuh pada Perang Jamal pada tahun 36 H. Saat itu ia berusia 62 tahun.
6. Abu Ubaidillah Zubair bin Awwam ra
Ia cucu Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushayy bin Kilab. Nasab keturunannya bertemu dengan Rasulullah saw di Qushayy bin Kilab, yang merupakan kakek ke lima.
Ibunya: Shafiyyah binti Abdul Mutthalib, bibi Rasulullah saw. Masuk Islam dan Hijrah ke Madinah.
Zubair berhijrah dua kali (Habasayah dan Medinah).dan ia shalat dua kiblat (sebelum dirubah menghadap ka’bah, dahulu kaum muslimin shalat menghadap masjidil Aqsa). Ia adalah orang yang pertama kali menghunus pedangnya di perang fi sabilillah. Ia disebut Hawaryy Rasulullah saw.
Putera-Ppterinya:
1. Abdulllah, ia merupakan orang islam pertama yang lahir setelah hijrah.
2,3,4,5,6,7,8. Al Mundzir,Urwah,Ashim, al Muhajir, Khadijah al Kubro, Ummul Hasan, Aisyah. Kedelapan anak tersebut dilahirkan Asma’ binti Abu Bakar ra.
8,10,11,12,13. Khalid, Amr, Habibah, Saudah, Hindun. Mereka dilahirkan Ummu Khalid binti Khalid bin Said bin al Ash.
14,15,16. Mush’ab, Hamzah, Ramlah. Mereka dilahirkan Rabbab binti Unaif al Kalbiyyah.
17,18,19. Ubaidah, Ja’far, Hafshah, mereka dilahirkan Zaenab binti Bisyr dari Bani Qais bin Tsa’labah.
20. Zaenab binti Zubair. Ia dilahirkan Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’aith.
21. Khadijah asShughra. Ia dilahirkan alJalal binti Qais dari Bani Asad bin Khuzaimah.
Seluruh putera puteri Zubeir 21 orang. Ia terbunuh pada Perang Jamal pada tahun 36 H. Saat itu ia berusia 67 tahun. Riwayat lain 66 tahun.
7. Sa’ad bin Abi Waqas ra
Nama Abi Waqas adalah Malik bin Uhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Bertemu silisilah/keturunan dengan Rasulullah saw di Kilab bin Murrah. Ibunya: Hamnah binti Sufyan bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdi Manaf.
Sa’ad masuk Islam pada awal datangnya Islam di Mekah. Ia berkata: “Saya adalah orang ketiga yang masuk Islam“
Turut serta dalam Perang Badar dan seluruh peperangan setelahnya bersama Rasulullah saw. Ia adalah orang yang pertama kali melontarkan anak panahnya di perang fi sabilillah. Adapun lontaran anak panahnya diarahkan pada sebuah pasukan yang di dalamnya terdapat Abu Sofyan. Pertemuan 2 pasukan itu terjadi dekat Rabigh di awal tahun pertama Rasulullah saw datang di Madinah.
Putera-puterinya:
1. Muhammad, ia dibunuh al Hajjaj.
2. Umar, dibunuh al Muhtar bin Abi Ubaid.
3 dan 4. Amir dan Mus’ab. Mereka berdua meriwayatkan hadist.
5,6,7. Umair, Shalih, Aisyah, mereka Bani Sa’d.
Wafat di istananya di Aqiq, yang jaraknya 10 mil dari Madinah. Lalu jenazahnya dipikul ke Madinah. Itu terjadi tahun 55 H. saat itu ia berusia 70 tahun lebih. Ia merupakan orang yang terakhir meninggal diantara 10 orang yang mendapat kabar gembira masuk surga.
8. Abu al ‘Awar Said bin Zaid bin Amr ra
Ia cucu Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Razah bin Adyy bin Ka’b bin Luayy bin Ghalib. Bertemu silisilah/keturunan dengan Rasulullah saw di Ka’b bin Luayy. Ibunya: Fatimah binti Ba’jah bin Umayyah bin Khuwailid, dari Bani Mulaih dari Khuzaah.
Said bin Zaid adalah sepupu Umar bin Khatthab ra, dan menikah dengan saudara Umar, Ummu Jamil binti Khattab.
Ia masuk Islam pada awal datangnya islam di Mekah. Namun ia tidak turut dalam Perang Badar. Di antara puteranya adalah Abdullah, seorang penyair.
Zubeir bin Bakkar berkata: Said anaknya sedikit, dan di antara mereka tinggal di luar Madinah. Said meninggal tahun 51 H. Saat itu ia tengah berusia lebih dari 70 tahun.
9. Abu Muhammad Abdurrahman bin Auf bin Abdi Auf ra
Ia cucu Ibnu Abd bin al Haris bin Zuhrah bin Kilab. Bertemu silisilahnya dengan Rasulullah saw di Kilab bin Murrah.
Ibunya bernama as Syifa’. Riwayat lain menyebutkan al’Anqa’binti Auf bin Abdul Harits bin Zuhrah. Ia masuk Islam dan hijrah.
Abdurrahman bin Auf masuk Islam pada awal datangnya Islam di Mekah. Turut serta dalam Perang Badar dan seluruh peperangan setelahnya bersama Rasulullah saw. Dalam riwayat sahih disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah menjadi makmum shalat padanya saat Perang Tabuk.
Putera-puterinya:
1. Salim al Akbar, meninggal sebelum datangnya Islam.
2. Ummul Qasim, lahir pada zaman Jahiliyah.
3. Muhammad, lahir setelah datangnya Islam. Dengan nama ini Abdurrahman dijuluki Abu Muhammad
4,5,6. Ibrahim, Humaid dan Ismail. Mereka dilahirkan Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mua’ith bin Abi Amr bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdi Manaf.
Ummu Kultsum termasuk wanita yang hijrah dan salah seorang yang telah baiat pada Rasulullah saw. Dan seluruh putera Abdurrahman yang lahir darinya, menjadi perawi hadist.
Urwah bin Abdurrahman, terbunuh di Afrika. Ia dilahirkan Nuhairah binti Hani’ bin Qabishah bin Mas’ud bin Sya’ban.
Halim al Asghar, terbunuh di Afrika. Ia dilahirkan Sahlah binti Suhail bin Amr. Ia saudara seibu Muhammad bin Abu Hudhaifah bin Utbah.
Abdullah al Akbar, terbunuh di Afrika. Ibunya dari bani Abdil Ashal. Abu Bakar bin Abdurrahman dan Abu Salamah al Fakih, ia Abdullah al Ashghar. Ibunya adalah Tumadhir binti al Ashbagh alKalbiyyah. Ia wanita dari Bani Kalbiy pertama yang dinikahi lelaki Quraisy.
Abdurrahman bin Abdurrahman dan Mus’ab bin Abdurrahman. Mush’ab pernah menjadi tawanan polisi Marwan bin Hakam di Madinah.
Abdurrahman meninggal di Madinah, dan dimakamkan di Baqi’ tahun 32 H saat kekhalifahan Usman bin Affan. Usman ikut menyolati jenazahnya. Ia wafat pada usia 72 tahun.
10. Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin al Jarrah ra
Ia cucu Hilal bin Uhaib bin Dhabbah bin al Harrits bin Fihr bin Malik. Dilahirkan Ummu Ghanm binti Jabir bin Abdul Uzza bin Amir bin Umairah bin Wadi’ah bin Al Harits bin Fihr. Dalam riwayat lain: Umaimah binti Ghanm bin Jabir bin Abdul Uzza. Bertemu silisilah/keturunan dengan Rasulullah saw di Fihr bin Malik.
Abu Ubaidah masuk Islam pada awal datangnya Islam di Mekah, sebelum Rasulullah saw masuk Darul Arqam. Turut serta dalam Perang Badar dan beberapa peperangan setelahnya bersama Rasulullah SAW. Pada saat Perang Uhud, ia mencabut dua gelang (dari rajutan baju besi) yang menancap di wajah Rasulullah saw dengan gigi depannya. Akibatnya, tanggallah 2 giginya.
Keturunan Abu Ubaidah ra, hanya 2 putera, yaitu Yazid dan Umar. Namun mereka meninggal, dan tak terdapat lagi penerus generasi Abu Ubaidah.
Abu Ubaidah ra. wafat karena wabah penyakit tha’un amwas pada tahun 18 H. Ia dimakamkan di Ghour Baisan di Desa Amta’. Saat itu usianya 58 tahun. Muadz bin Jabal ra. ikut menshalati jenazahnya. Ada riwayat lain menyebutkan Amr bin A’sh pun ikut.
Pada saat Perang Badar Abu Ubaidah membunuh ayahnya yang saat itu masih kafir. Karena peristiwa ini Allah menurunkan ayat:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”

Misi Keluarga Muslim

Saptono Collect


E-Mail This Post/PagePrint This Post/Page

Seperti apakah bentuk keluarga kita? Maklum, ada yang mengatakan rumahku surgaku. Tapi, tak sedikit mengatakan rumah gue kayak neraka. Atau, hambar saja. Tak ada rasa bahwa kita punya keluarga.

Apa pun bentuk keluarga kita itu adalah hasil dari perpaduan tiga faktor pembentuknya. Ketiga faktor itu adalah paradigma yang kita miliki tentang keluarga, kompetensi seluruh anggota keluarga kita dalam membangun keluarga, dan macam apa aktivitas yang ada dalam keluarga kita.

Kalau dalam paradigma kita bahwa keluarga bahagia adalah yang bergelimangan harta, maka motivasi kita dalam berkeluarga adalah mengkapitasisasi kekayaan. Maka, kita akan mencari istri atau suami anak tunggal dari calon mertua yang kaya. Pusat perhatian kita dalam berkeluarga adalah menambah kekayaan.

Bagi paradigma berkeluarga seorang muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk beribadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, dan merealisasikan amal bahwa berkeluarga adalah bagian dari sebuah gerakan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Sehingga, pusat perhatiannya dalam berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah (emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota keluarganya.

Karena itu, membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara) adalah sasaran yang ingin dicapai seorang muslim dalam membentuk berkeluarga. Dalam keluarga yang samara itulah kita akan melahirkan pribadi islami untuk saat ini dan masa depan.

Jadi, sangat penting bagi seorang muslim membangun kompetensi untuk membangun keluarga. Apa itu kompetensi berkeluarga? Kompetensi berumah tangga adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar yang harus dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah tangga yang kokoh yang menjadi basis penegakkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Maka tak heran jika Rasulullah saw. menyuruh kita untuk pandai-pandai memilih pasangan hidup. Jangan asal pilih.

Abi Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Berbahagialah orang yang menikahi wanita karena agamanya, dan merugilah orang yang menikahi wanita hanya karena harta, kecantikan, dan keturunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abdillah bin Amrin r.a. berkata, bahwa Rasu­lullah saw. telah bersabda, “Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena kecantikannya, sebab kecantikan itu pada saatnya akan hilang. Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena hartanya, sebab harta boleh jadi membuatnya congkak. Tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab seorang wanita budak yang jelek lagi hitam kelam yang memiliki agama (kuat dalam beragama) adalah lebih baik daripada wanita merdeka yang cantik lagi kaya, tetapi tidak beragama.” (HR. Ibnu Majah).

Ibnu Abbas r.a. berkata, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Empat perkara, barangsiapa memilikinya berarti dia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat: hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, badan yang sabar dikala mendapat musibah, dan istri yang dapat menjaga kehormatan diri serta dapat menjaga harta suami.” (HR. Thabrani dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath, sedang sanad dalam salah satu dan dua riwayat adalah bagus).

Keshalihan diri kita dan pasangan hidup kita adalah modal dasar membentuk keluarga samara. Seperti apakah keluarga samara? Yaitu keluarga dengan karakteristik sebagai berikut:

§ Keluarga yang dibangun oleh pasangan suami-istri yang shalih.

§ Keluarga yang anggotanya punya kesadaran untuk menjaga prinsip dan norma Islam.

§ Keluarga yang mendorong seluruh anggotanya untuk mengikuti fikrah islami.

§ Keluarga yang anggota keluarganya terlibat dalam aktivitas ibadah dan dakwah, dalam bentuk dan skala apapun.

§ Keluarga yang menjaga adab-adab Islam dalam semua sisi kehidupan rumah tangga.

§ Keluarga yang anggotanya melaksanakan kewajiban dan hak masing-masing.

§ Keluarga yang baik dalam melaksanakan tarbiyatul aulad (proses mendidik anak-anak).

§ Keluarga yang baik dalam mentarbiyah khadimah (mendidik pembantu).

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. [QS. Ruum (30): 21]

Untuk apa Allah memberikan samara kepada pasangan suami-istri muslim? Sebagai modal untuk meraih kebahagiaan. Bukankah tujuan hidup kita sebagai seorang manusia adalah memperoleh kebahagian? Bagi seorang muslim, ada tiga level kebahagiaan yang ingin dicapai sesuai dengan QS. Al-Baqarah (2) ayat 201.

Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”

þ رَبَّنـــَا آتِــنَا فِي الدُّنْيــَا حَسَنَةً

þ وَ فِي اْلآخَرَةِ حَسَنَةً

þ وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ

Itulah sebaik-baik doa seorang muslim. Kita bercita-cita meraih kebahagiaan di dunia. Ketika meninggalkan dunia, kita mendapat kebahagiaan di akhirat. Yang dimaksud dengan al-hasanah (kebaikan) di akhirat adalah surga. Tapi, ada orang yang langsung masuk surga dan ada orang yang dibersihkan dulu dosa-dosanya di neraka baru kemudian masuk surga. Nah, obsesi tertinggi kita adalah wa qinaa adzaaban nar, masuk surga dengan tanpa tersentuh api neraka terlebih dahulu. Sebab, inilah kesuksesan yang sebenarnya bagi diri seorang mukmin.

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [QS. Ali Imran (3): 185]

Karena itu, doa rabbanaa atinaa fiiddunya hasanah… haruslah menjadi syiar yang selalu disenandungkan oleh setiap muslim sepanjang hidupnya di dunia. Ketika seorang muslim dan muslimah menikah, syiar ini bertransformasi menjadi: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim (66): 6)

Inilah tugas pokok seorang kepala keluarga: menjaga agar tidak satupun anggota keluarganya tersentuh api neraka. Untuk menunjukkan bahwa tugas ini sangat penting, Allah swt. memvisualisasikan bagaimana dahsyatnya neraka dan tidak nyamannya orang yang masuk ke dalamnya. Bahkan, orang yang masuk ke dalam neraka menjadi bahan bakar. Diperlakukan kasar dan keras. Padahal, kita tidak pernah ridha jika istri kita diganggu orang di jalan, kita marah jika anak kita dilukai orang, kita tidak mau anggota keluarga kita tidak nyaman akibat kepanasan atau kehujanan. Itulah bentuk rasa sayang kita kepada mereka. Seharusnya, bentuk kasih sayang itu juga menyangkut nasib mereka di akhirat kelak. Kita tidak ingin satu orang anggota keluarga kita tersentuh api neraka.

Tugas berat ini tentu tak mungkin ditanggung oleh seorang kepala keluarga sendiri tanpa ada keinginan yang sama dari setiap anggota keluarga. Artinya, akan lebih mudah jika seorang suami beristri seorang muslimah yang punya visi yang sama: sama-sama ingin masuk surga tanpa tersentuh api neraka. Inilah salah satu alasan bahwa kita tidak boleh asal dalam memilih pasangan hidup.

Karena itu, hubungan suami-istri, orang tua dan anak, adalah hubungan saling tolong menolong. Saling tolong menolong agar tidak tersentuh api neraka. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. At-Taubah (9): 71]

Tolong menolong. Itulah kata kunci pasangan samara dalam mengelola keluarga. Suami-istri itu akan berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengelola keluarga mereka. Sungguh indah gambaran pasangan suami-istri yang seperti ini. Suaminya penuh rasa tanggung jawab, istrinya mampu menjaga diri dan menempatkan diri. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.” [QS. An-Nisa’ (4): 34]

Pasangan suami-istri yang seperti itu sadar betul bahwa keluarga harus dikelola seperti sebuah organisasi. Bukankah keluarga adalah unit terkecil dalam susunan organisasi masyarakat? Bukankah keluarga miniatur sebuah negara? Jadi, kenapa banyak keluarga berjalan tanpa pengorganisasian yang memadai?

Jika kita yakin bahwa keluarga adalah sebuah lembaga, maka sebagai lembaga harus terorganisasi. Ada pemimpin ada yang dipimpin. Ikatan antara pemimpin dan yang dipimpin adalah ikatan kerjasama. Kerjasama haruslah punya tujuan yang terukur. Dan tujuan yang ingin dicapai haruslah diketahui bagaimana cara mencapainya. Itu artinya, cara pencapaiannya harus direncanakan. Setiap rencana baru bisa sukses jika diiringin kemauan yang kuat (azzam).

Dan salah satu rahasia keberhasilan realisasi sebuah rencana adalah ketika rencana itu dibuat dengan prinsip syura. Semakin tinggi tingkat partisipasi, maka akan semakin tinggi potensi keberhasilan tujuan itu dicapai. Inilah salah satu rahasia keberhasilan Rasulullah saw. mengelola para sahabat. Karena Rasulullah saw. selain berlemah-lembut, juga mengajak peran aktif mereka dalam bermusyawarah membuat rencana-rencana strategis (lihat QS. Ali Imran (3): 159].

Artinya, keluarga juga akan sukses mencapai tujuan-tujuannya jika menerapkan prinsip syura dalam perencanaannya. Bahkan, untuk urusan menyapih (ibu berhenti memberi ASI) pun harus disyurakan. Ini perintah Allah swt. Silakan lihat QS. Al-Baqarah (2) ayat 233.

Jadi, jika ingin tidak ada satu orang keluarga pun tersentuh api neraka, kita harus merencanakannya. Tetapkan ini sebagai visi keluarga kita. Lalu, breakdown agar menjadi sebuah langkah yang aplikatif. Jika kita perinci, kira-kira akan menjadi seperti ini.

Visi keluarga kita:

Tidak ada satu pun anggota keluarga tersentuh api neraka وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ

Misi keluarga kita:

1. Mencapai derajat takwa yang sebenarnya التَّقْوَى حَقَّ تُـقَـاتِه)ِ)

2. Memperoleh hidup mulia atau mati syahid عَيْشْ كَرِيْمًا أَوْ مُتْ شَهِيْد)ً)

Strategi untuk mencapai visi dan misi keluarga kita:

1. Setiap anggota keluarga mengikuti tarbiyah (pendidikan) dalam bentuk tilawah Al-Qur’an, ada proses tazkiyah (pembersihan diri), dan taklim.

2. Setiap anggota keluarga menjalankan ibadah sampai derajat ihsan.

3. Setiap anggota keluarga berdakwah dan berjihad fii sabilillah.

4. Ada anggota keluarga yang menjadi pemimpin masyarakat (istikhlafu fiil ardhi).

Arah kebijakan keluarga kita:

1. Semua anggota keluarga kita harus tertarbiyah.

2. Setiap anggota keluarga harus memiliki jadwal ibadah unggulan pribadi, baik secara ritual maupun sosial.

3. Secara jama’i (bersama-sama), keluarga harus punya jadwal ibadah unggulan, baik ritual maupun sosial.

4. Harus memiliki agenda dakwah di dalam keluarga.

5. Harus memiliki agenda dakwah di untuk masyarakat sekitar.

6. Menghadirkan suasana keluarga yang mendukung tercapainya visi dan misi keluarga.

7. Mendidik setiap anggota keluarga untuk mencapai kualitas keluarga sebagai pemimpin umat.

8. Menyediakan sarana dan prasarana pendukung tercapainya visi dan misi keluarga.


Makna Muhasabah


E-Mail This Post/PagePrint This Post/Page

Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)

Gambaran Umum Hadits

Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.

Indikasi Kesuksesan dan Kegagalan

Hadits di atas dibuka Rasulullah dengan sabdanya, ‘Orang yang pandai (sukses) adalah yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.’ Ungkapan sederhana ini sungguh menggambarkan sebuah visi yang harus dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga kehidupan setelah kematian.

Seorang muslim tidak seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi dan planing untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi. Karena orang sukses adalah yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka panjangnya. Orang bertakwa adalah yang ‘rela’ mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, ‘kebahagian kehidupan ukhrawi.’

Dalam Al-Qur’an, Allah swt. seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18–19.

Muhasabah atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai kunci pertama dari kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.

Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah saw. mengenai kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri.

Sementara kebalikannya, yaitu kegagalan. Disebut oleh Rasulullah saw, dengan ‘orang yang lemah’, memiliki dua ciri mendasar yaitu orang yang mengikuti hawa nafsunya, membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planing, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya. Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan, ’berangan-angan terhadap Allah.’ Maksudnya, adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut: Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya.

Urgensi Muhasabah

Imam Turmudzi setelah meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.

1. Mengenai muhasabah, Umar r.a. mengemukakan:

‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.

Sebagai sahabat yang dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar paham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah swt.

2. Sementara Maimun bin Mihran r.a. mengatakan:

‘Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.

Maimun bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.

3. Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1].

Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi

Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai dan sukses.

1.Aspek Ibadah

Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]

2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki

Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:

Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’ (HR. Turmudzi)

3.Aspek Kehidupan Sosial Keislaman

Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits:

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)

Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.

4. Aspek Dakwah

Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.

Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek dakwah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu dakwah itu sendiri.

Evaluasi pada bidang dakwah ini jika dijabarkan, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi dakwah dalam bidang dakwah ‘ammah, evaluasi dakwah dalam bidang siyasi, evaluasi dakwah dalam bidang iqtishadi, dsb?

Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah–mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108]

Ukhwah Islamiyah

Semua orang yang berakal pasti sepakat bahwa persatuan itu sangat penting dan dibutuhkan oleh umat yang menginginkan kemenengan. Sungguh, syari’at telah memperhatikan hal itu dan bagaimana menjaganya.

Pada akhir-akhir ini, berbagai perselisihan silih berganti. Perselisihan memang sudah kepastian yang akan terjadi pada umat. Tapi, perselisihan yang terjadi sekarang ini sudah melampaui batas sehingga perlu adanya wasiat dan pencerahan terhadap makna persatuan.
Di antara dalil-dalil yang menjelaskan akan pentingnya menyatukan barisan adalah sebagai berikut.

Nash-Nash dari Al-Qur’an

Sungguh Al-Qur’an telah menjaga persatuan umat. Hal ini dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an, di antaranya Allah Azzawajalla berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan. Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali-Imran: 102-103).


“Jikalau Tuhan-mu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhan-mu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Hud: 118-119).


Maksud dari firman Allah Ta’ala “Untuk Itulah Allah menciptakan mereka” adalah sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Jarir, orang yang mendapatkan rahmat Allah tidak akan berselisih pada perselisihan yang membahayakan (tafsir Ibnu Jarir, 12/34).

Ibnu Abbas ra. menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang dirahmati Allah (tidak akan berselisih), dan kelompok yang tidak dirahmati Allah (akan berselisih). Sehingga, ada di antara mereka yang celaka dan bahagia. (Tafsir Ibnu Jarir, 12/34).

2. Menyatukan Barisan adalah Salah Satu Tujuan Allah Mengutus Para Nabi-Nya


Para nabi a.a. adalah utusan Allah yang menyerukan untuk menyatukan barisan dengan satu kalimat. Imam Baghawi mengatakan, “Allah telah mengutus para nabi untuk menegakkan agama, menyatukan umat, dan meninggalkan perpecahan serta perselisihan.” (Ma’alim At-Tanzil, Ibnu Jarir Ath-Thabari, hal. 4/122).

Sebelumnya, para nabi pun pernah berselisih pendapat, di antaranya Musa a.s. menyelisihi Harun a.s. Dalam firman Allah dijelaskan: “Berkata Musa: ‘Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka Telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti Aku? Maka apakah kamu Telah (sengaja) mendurhakai perintahku?’ Harun menjawab: ‘Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): ‘Kamu Telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku’.”

Begitu juga perselisihan yang terjadi antara Hidlir a.s. dan Musa a.s., dan antara Sulaiman a.s. dan Daud a.s. Allah berfirman: “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah kami berikan hikmah dan ilmu dan telah kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud, dan kamilah yang melakukannya.” (Al-Anbiya’: 78-79).

Bahkan, malaikat pembawa rahmat dan malaikat penyiksa pun pernah berselisih pada seorang lelaki yang mati dan telah membunuh seratus orang. (Lihat Itsarul Haqqi ‘Alal Khalqi, Ibnul Wazir, hal. 119).

Hanya saja, perselisihan yang terjadi di antara mereka tidak menyebabkan kepada perpecahan dan permusuhan.

3. Nash-Nash dari As-Sunnah


Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk menyatukan barisan dan melarang dari perpecahan dan perselisihan.

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha terhadap kalian pada tiga hal, dan membenci kalian pada tiga hal. Yaitu, engkau menyembah-Nya dan tidak menyekutukannya, engkau berpegang teguh pada tali Allah dan jangan kalian berpecah-belah. Dan membenci ucapan katanya, banyak ucapan, dan menyia-nyiakan harta.” (HR Muslim [1715]).

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat untuk melaksanakannya dan memerintahkan Bani Isra’il supaya mereka mengerjakannya.” Lalu Nabi saw. bersabda: “Saya perintahkan kepada kalian dengan lima hal yang Allah memerintahkanku dengannya, yaitu untuk mendengar, taat, jihad, hijrah, dan berjama’ah. Karena orang yang menyelisihi jama’ah sejengkal saja, maka dia telah melepas tali Islam dari punggungnya, kecuali bila ia kembai.” (HR Ahmad [16178] dan Tirmidzi [2863]).

Berkata Ibnu Umar r.a., Umar telah berkhutbah seraya berkata, “Wahai manusia, saya beridiri di depan kalian adalah mewakili Rasulullah saw., beliau bersabda: ‘Saya wasiatkan kalian dengan para sahabatku, kemudian orang-orang setelah mereka, dan kemudian orang-orang setelah mereka. Sungguh, setelah mereka akan muncul berbagai kedustaan, hingga ada seorang lelaki yang berjanji tapi tidak menepati janjinya. Ada orang yang menjadi saksi tapi kesaksiannya tidak dapat dijadikan sebagai saksi. Dan, tidaklah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali ketiganya adalah syaitan. Hendaknya kalian berjama’ah dan jangan berpecah-belah. Karena syaitan bersama orang yang sendirian, dan syaitan lebih jauh dari orang yang berdua. Barang siapa yang menginginkan baunya surga, maka hendaklah ia melazimi jama’ah’.” (HR Tirmidzi [2165] dan Ahmad [115]).

4. Sejarah Para Sahabat Nabi


Perbedaan pendapat sering kali terjadi di kalangan para sahabat, tapi hati dan jiwa mereka tetap bersih.

Di dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar pernah mengutip penjelasan Al-Qurtubi, orang yang memperhatikan dan mengkaji perselisihan yang terjadi antara Abu Bakar r.a. dan Ali r.a. dengan adil, maka dia akan mengetahui bahwa mereka saling mengakui keutamaannya masing-masing, dan hati mereka tetap terbangun untuk saling menghormati dan mencintai.

Dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya berkata, saya pernah mencela Hasan r.a. di depan ‘Aisyah r.a., maka dia berkata, “Jangan kamu mencelanya, karena dia telah mendapatkan bau harum dari Rasulullah saw.” (HR Bukhari [6150]).

Begitu juga dengan Ibnu Abbas r.a., ia pernah memuji Ibnu Zubeir di tengah perselisihan yang terjadi di antara mereka berdua. Ibnu Mulaikah berkata, “Di antara mereka berdua pernah terjadi perselisihan sehingga saya mendatangi Ibnu Abbas dan berkata, ‘Apakah engkau ingin membunuh Ibnu Zubeir dengan melanggar aturan Allah?’ Maka Ibnu Abbas berkata, ‘Saya berlindung kepada Allah, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi Ibnu Zubeir dan Bani Umayah untuk berselisih. Dan saya, demi Allah, tidak akan ikut campur.’ Ada orang yang berkata kepadanya, ‘Orang-orang telah membai’at Ibnu Zubeir.’ Lalu beliau berkata, ‘Apakah perkara itu salah? Bukankah ayahnya adalah seorang hawari (pendamping Nabi saw., yang dimaksud adalah Zubeir), sedangkan kakeknya adalah sahabat Rasulullah saw. ketika di Gua Hira? Abu Bakar, ibunya adalah Asma’, bibinya adalah umul mukminin ‘Aisyah; bibinya juga adalah istri Nabi saw., Khadijah; neneknya adalah bibi Nabi saw., Shafiyah; Abdullah bin Zubeir adalah seorang yang baik dalam keislamannya dan pembaca Al-Qur’an’.”

Begitu juga dengan Ibnu Mas’ud r.a., ia sering sekali menyelisihi pendapat Umar bin Khatab r.a. Meski demikian, sungguh hati mereka selalu bersih, tidak ada tempat bagi hawanafsu di hatinya. Perselisihan yang terjadi di antara mereka tidak mengurangi sedikit pun keadilan mereka, dan tidak mengarah kepada permusuhan.

5. Jama’ah

Di antara nama lain Ahlus Sunnah adalah jama’ah. Mereka sangat bersungguh-sungguh menyerukan kepada persatuan. Bagaimana tidak, mereka adalah jama’ah dan kelompok sawadul a’zham (kelompok mayoritas).

At-Thahawi rhm. mengatakan, “Kami berpendapat bahwa jama’ah adalah kebenaran, sedangkan perpecahan adalah kesesatan dan azab.”

Imam Nawawi mengomentari hadits berikut, “Dan janganlah kalian berpecah belah,” hadits tersebut merupakan perintah untuk melazimi jama’ah kaum muslimin dan saling lemah lembut antara satu dengan lainnya. Hal ini merupakan salah satu kaedah dalam Islam. (Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Imam an-Nawawi, hal. 11/12).

Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Kebaikan adalah semua kebaikan yang mengikuti salafus shaleh (orang-orang terdahulu), memperbanyak pengetahuan terhadap hadits Rasulullah saw., mendalaminya, berpegang teguh dengan tali Allah, melazimi jama’ah, dan menjauhi segala sesuatu yang dapat menyebabkan kepada perselisihan dan perpecahan. Kecuali, bila perkara tersebut jelas-jelas diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan, bila perkara tersebut masih samar, apakah perkataan dan perbuatan ini dapat menyebabkan pelakunya kepada perselisihan atau perpecahan, maka wajib untuk meninggalkannya.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 6/505).

6. Maslahat Jama’ah Tidak Sebanding dengan Mafsadat (Kerusakan) dari Perpecahan


Banyak sekali orang yang ingin mencapai suatu maslahat (manfaat) tetapi dengan melaksanakan mafsadah yang dapat menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Padahal, kemanfaatan dalam berjama’ah itu sama sekali tidak sebanding dengan kerusakan yang menyebabkan kepada perpecahan dan perselisihan.

An-Nu’man bin Basyir r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Membicarakan nikmat Allah adalah syukur dan meninggalkannya adalah kufur (ingkar). Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, maka dia pun tidak akan bisa mensyukuri nikmat yang banyak. Barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak akan bisa bersyukur kepada Allah. Dan, jama’ah adalah barakah sedangkan perpecahan adalah adzab.” (HR Al-Baihaqi dan dihasankan oleh Al-Bani dalam Shahihil Jami’ [3014]).

Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Wahai manusia, hendaklah kalian taat dan berjama’ah, karena ia adalah jalan yang paling pokok untuk menuju kepada tali Allah yang telah diperintahkan. Dan, sungguh tidak sukanya kalian ketika berada di suatu jama’ah itu lebih baik daripada kalian bersenang-senang dalam perpecahan.” (HR Al-Lalika’i dalam kitab Syarhu Ushuli I’tiqadi Ahlis Sunnah, hal. 158-159 dan Asy-Syari’ah, Al-Ajrawi, hal. 13).

Dalam mengomentari hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Apalagi bila perkara tersebut menimbulkan kejahatan yang begitu panjang dan perpecahan Ahlus Sunnah, maka kerusakan yang timbul pada perpecahan ini berlipat ganda dari kesalahan kecil seseorang dalam masalah furu’ (cabang).”

7. Kebangkitan Islam Membutuhkan Penyatuan Barisan


Kalaulah perkara jama’ah dan penyatuan barisan merupakan perkara yang sangat penting, maka tentunya hal itu sekarang lebih dibutuhkan untuk mewujudkan kebangkitan Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perpecahan yang terjadi pada umat Islam, para ulama, dan para syaikhnya, serta para pemimpin dan pembesarnya sangat disukai oleh musuh-musuh Islam. Dan, hal itu bisa terjadi lantaran mereka meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‘Dan di antara orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani,’ ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya. Maka kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat, dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan.” (Al-Maidah: 14).

Tatkala orang meninggalkan apa-apa yang telah Allah perintahkan kepada mereka, pasti akan terjadi permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bila suatu kaum sudah berpecah-belah, pasti mereka akan rusak dan hancur; bila berjama’ah, mereka akan mendapatkan kebaikan. Karena, jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab (siksa).” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 3/421).

Sarana Penyatuan Barisan

Di antara sarana untuk menyatukan barisan adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui pentingnya penyatuan barisan.

Kaum muslimin harus meyakini pentingnya penyatuan barisan dan menyebarluaskan hadits-hadits yang berkenaan dengan hal itu hingga benar-benar mengetahui dan yakin akan hal tersebut.

2. Menguatkan tali hubungan.

Di antara sarana yang dapat membantu terwujudnya penyatuan barisan adalah dengan menguatkan hubungan antara para aktivis dan da’i serta kaum muslimin secara umum. Hal ini bisa dilakukan di sela-sela hubungan pribadi, silaturrahmi, berkumpul, menegakkan syari’at bersama, dan saling membantu dalam pekerjaan ataupun yang lainnya.

Hubungan saudara sesama muslim yang disertai dengan rasa cinta akan membuka pintu dialog ketika terjadi perselisihan. Kecintaan tersebut akan menjembatani perselisihan yang terjadi di antara mereka. Berbeda halnya bila mereka tidak pernah berhubungan. Kemungkinan besar akan sulit untuk disatukan.

3. Menimbang perkataan yang benar.

Tidaklah seorang muslim merasa keberatan untuk menyatukan barisan, kecuali di hatinya ada nifaq dan tidak suka untuk menolong agama Allah. Tidaklah seseorang cukup berhujah dengan kebenaran, tapi dia juga harus memperhatikan beberapa hal berikut.

1. Hendaknya kebenarannya benar-benar jelas dan nyata.

Banyak masalah yang menghalangi tercapainya kesatuan barisan. Contohnya permasalahan-permasalahan ijtihad yang cakupannya sangat luas. Dalam hal ini tidak mungkin bisa disatukan, sehingga tidak seyogyanya satu sama lain saling mengingkarinya, terlebih saling bermusuhan. Atau, dalam hal pelaksanaan jihad, sungguh dalam perkara ini sangat luas sekali pembahasannya. Sehingga, seyogyanya seorang muslim tidak cepat menghukumi orang lain yang belum bisa berjihad sebelum melakukan pembahasan yang mendalam mengenai hal ini.

2. Hendaknya kebenaran tersebut disertai dengan penjelasan dan ilmu.

Imam Bukhari dalam kitab Jami’ush Shahih mengutip perkataan Imam Ali r.a., “Ceritakanlah kepada manusia dengan apa yang bisa mereka mengerti, apakah engkau senang bila dia mendusatakan Allah dan Rasul-Nya?” (HR Bukhari, Kitabu al-Ilmi, no. 124).

‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Tidaklah engkau megatakan suatu perkataan kepada suatu kaum yang tidak bisa dicapai oleh akal mereka, kecuali akan menimbulkan fitnah pada sebagian mereka.” (HR Muslim dalam muqaddimah shahihnya).

3. Hendaknya menjelaskan kebenaran dengan metode yang sesuai.

Seorang muslim seyogyanya berbuat adil dan menjauhi kezhaliman. Selain itu, ia juga harus paham bahwa tanggung jawabnya dalam menyampaikan kebenaran adalah untuk menyatukan barisan kaum muslimin.

4. Hendaknya dalam menjelaskan kebenaran dilakukan oleh orang yang pantas.

Hendaknya seseorang berdakhwah sesuai dengan kedudukannya masing-masing, seperti seorang pejabat berdakwah di kalangan para pejabat dan lainnya. Sekalipun, hal ini tidak mutlak.

5. Setelah sempurnanya penjelasan kebenaran, hendaknya tidak terburu-buru menjelaskan hal yang dapat menimbulkan perselisihan.

Permasalahan yang bertele-tele dan tidak ada gunanya hanya akan membawa kepada perselisihan dan perpecahan umat.

4. Adil dalam menghukumi kesalahan.

Seorang muslim tidak mungkin terlepas dari kesalahan, kecuali Nabi Muhammad saw., sekalipun orang tersebut bertakwa, berilmu, dan wara’.


Sebagaimana telah diketahui, kesalahan merupakan perkara yang bertingkat-tingkat. Seperti halnya dosa, ada dosa-dosa besar dan ada dosa-dosa kecil. Salah dalam perkara yang sudah nyata kebenarannya tidak sama dengan kesalahan pada perkara yang masih samar. Menyelisihi dalil yang sudah jelas-jelas shahih tidak sama dengan menyelisihi dalil yang masih muhtamal (yang masih ada kemungkinan shahih, hasan, atau dhaif) atau fatwa para ulama.

Tatkala telah jelas penjelasan akan kesalahan seorang ulama atau da’I, hendaknya ia adil dalam hal itu dengan menjauhi kesalahan tersebut, menjauhi sifat berlebih-lebihan dalam semua hal, dan menjauhi perselisihan dan perpecahan.

5. Setiap orang mempunyai kelebihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Ini adalah inti pembahasan pada bab ini. Seorang mujtahid yang berpegang pada dalil yang dilakukan oleh seorang imam, penguasa, ulama, pengamat, mufti, dan selainnya, apabila telah berijtihad dan berlandaskan kepada dalil, maka bertakwalah kepada Allah semampunya. Karena, inilah yang dibebankan Allah kepadanya. Orang yang menaati Allah, maka baginya pahala, maka bertakwalah semampunya dan Allah tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya. Berbeda halnya dengan orang-orang yang berpaham Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Qadariyah.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah: 19/216-217).

Beliau juga berkata, “Adapun para Nabi–semoga Allah meridhai mereka semua—mereka adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama, yaitu ma’shum dari dosa. Adapun, orang-orang yang jujur, para syuhada`, dan orang-orang shalih, mereka bukanlah orang-orang yang ma’shum. Orang yang berijtihad terkadang mendapatkan pahala dan tekadang salah. Apabila mereka berijtihad dan benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala; sedangkan mereka yang berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala atas kesungguhan ijtihadnya, dan kesalahan mereka diampuni. Adapun orang-orang sesat, mereka menjadikan kesalahan dan dosa sebagai hal biasa. Bahkan, terkadang mereka berbuat melampaui batas. Mereka mengklaim diri mereka ma’shum. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa orang beriman dan berilmu tidak ma’shum tapi juga tidak berdosa.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal: 35/69).

6. Saling menghormati.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, manusia tidak ada yang ma’shum, kecuali Nabi saw. Akan tetapi, kebanyakan para aktivis tidak menyadari hal ini. Tatkala ada seorang ulama yang berbuat salah, mereka langsung mengkritik dan menjatuhkannya tanpa memperhatikan aturan-aturannya.

Hendaknya para ulama dan aktivis saling bermuamalah dengan baik, saling menghormati, baik dengan orang yang lebih tua atau yang lebih kecil.

7. Hendaknya tidak disibukkan mencari-cari kesalahan manusia.

Seorang muslim diperintahkan untuk menjaga lisannya dan menjaga kehormatan kaum mukminin. Lalu, bagaimana dengan orang yang hanya disibukkan mencari-cari kesalahan saudaranya semuslim? Maka, hendaknya orang yang sering disibukkan mencari-cari kesalahan orang lain mengintrospeksi diri, boleh jadi hal itu hanya dilatarbelakangi oleh hawa nafsu.

8. Menghormati orang yang lebih tua.

Syariat telah memerintahkan kita untuk bertawadhu’ (rendah hati). Kesalahan mereka tidaklah sama dengan kesalahan selain mereka. Oleh sebab itu, hendaknya selalu dijaga kedudukan mereka. Bila ada kesalahan, perkara mereka berbeda dengan selain mereka.

Sa’id bin al-Musayyib rhm. berkata, “Tidak ada orang terhormat, berilmu, dan orang yang mempunyai keutamaan, kecuali ia pasti mempunyai aib. Akan tetapi, hendaknya orang lain tidak perlu menyebut-nyebut aibnya. Karena, bagi siapa yang keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, maka kekurangannya akan ditutupi dengan keutamaannya.” (Al-Kifayah, hal. 102 dan Jamiu Bayani al-Ilmi wa Fadlihi, hal. 2/821).

Imam Ibnul Qayim rhm. berkata, “Barang siapa yang memiliki ilmu syar’i dan dia mempunyai kedudukan yang mulia dalam Islam, terkenal dengan keshalihan dan akhlak baiknya, apabila ia berijthiad dan salah—karna ia tidak terlepas dari kesalahan—maka dia tetap mendapatkan pahala atas ijtihadnya, dan orang lain tidak boleh mengikuti ijtihadnya yang salah, dan tidak boleh kita menjatuhkan nama baiknya di depan kaum muslimin.” (I’lamu al-Muwaqi’in, Ibnul Qayim, hal. 3/282).

9. Menjauhi perselisihan.

Perselisihan biasanya berawal dari kesalahan, peremehan, hawa nafsu, dan sifat berlebih-lebihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dijaga, di antaranya orang yang diam sama sekali pada permasalahan ini—apakah orang kafir melihat Tuhan mereka—… Oleh sebab itu, tidak sepantasnya bagi orang berilmu menjadikan permasalahan ini sebagai tameng untuk mengutamakan saudara-saudaranya yang ia sukai dan memojokkan kaum muslimin lainnya yang tidak ia sukai. Karena, yang seperti inilah yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan, hendaknya jangan membawa permasalahan ini kepada kaum muslimin yang masih awam, dikhawatirkan akan muncul fitnah di antara mereka. Kecuali, kalau ada seseorang yang bertanya, maka jawablah sesuai dengan kadar ilmu yang kamu miliki.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 6/503-504).

Beliau juga berkata, “Adapun perselisihan dalam masalah hukum, maka hal itu banyak terjadi di kalangan para sahabat. Sebagaimana sahabat Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., keduanya adalah sayyid-nya kaum muslimin. Keduanya berselisih, tetapi keduanya tidak ada maksud apa pun kecuali kebaikan. Nabi saw. bersabda kepada para sahabatnya, ‘Jangan salah seorang di antara kalian shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah.’ Akhirnya ketika mereka berada di tengah-tengah perjalanan, waktu shalat ashar pun tiba. Sekelompok dari mereka berkata, ‘Kita tidak akan shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah.’ Sekelompok yang lain berkata, ‘Kami tidak ingin mengakhirkan shalat.’ Sehingga mereka pun shalat ketika berada di perjalanan, dan tidak ada seorang dari dua kelompok tersebut yang saling mencela.” (HR Bukhari dan Muslim), (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 24/173).

10. Membedakan antara perbedaan pendapat dengan perbedaan hati.

Tidak mengapa terjadinya perbedaan pendapat dan ijtihad. Tetapi, kaum muslimin harus mewaspadai bila terjadi perbedaan hati. Nabi saw. telah mengingatkan para sahabatnya dari hal itu. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, saya telah mendengar seseorang yang membaca sebuah ayat, dan bacaannya berbeda terhadap apa yang telah saya dengar dari bacaan Nabi. Lalu saya datang kepada beliau dan menceritakan kejadian tersebut. Dari wajah beliau terpancar seolah-olah beliau tidak suka dengan kejadian tersebut. Kemudian beliau bersabda, “Kalian berdua adalah baik, tapi jangan kalian berselisih karena orang-orang terdahulu hancur akibat mereka berselisih.” (HR Bukhari, no. 3217).

11. Perselisihan itu pasti terjadi.

Perselisihan itu pasti terjadi dan sulit untuk dihindarkan. Tetapi, apabila ingin menyatukan barisan, perbedaan pendapat harus diminimilasasi dan berusaha untuk menyatukannya. Kecuali, pada hal-hal yang Islam memang memberi kelonggoran di dalamnya untuk berselisih seperti halnya dalam masalah furu’.

12. Membuka forum dialog disertai dengan akhlak yang baik.

Di antara cara meminimilasasi terjadinya perbedaan pendapat adalah dengan membuka berbagai forum dialog, karena dengannya akan didapati titik temunya. Bila kita amati, membuka forum dialog pun telah diajarkan oleh para salaf. Mereka berselisih dan berbeda pendapat, tetapi kemudian mereka membuka forum dialog dengan cara yang baik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Para ulama dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka pernah berselisih dalam suatu perkara, tetapi mereka tetap mengikuti perintah Allah Ta’ala. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 59). Mereka saling tukar pikiran dalam suatu masalah, bermusyawarah, dan saling menasihati. Terkadang mereka berselisih dalam masalah ilmu ataupun perbuatan, tetapi mereka tetap menjaga hubungan persaudaraan.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 24/172).

13. Berusaha untuk mendamaikan antara dua orang yang berselisih.

Di antara unsur yang tak kalah pentingnya dalam menyatukan barisan umat ini adalah mengadakan perdamaian. Sebelum terjadinya permusuhan di antara sesama kaum muslimin, maka harus didamaikan. Allah telah berfirman: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!” (Al-Hujarat: 9).

Nabi saw. juga mengkuatkan pentingnya peranan ini. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad bin As-Saaidy r.a., telah sampai kabar kepada Rasulullah bahwa Bani Auf bin Amru berselisih, maka kemudian Rasulullah saw. keluar mendamaikannya. (HR Bukhari [1224] dan Muslim [421]).

Sumber: Diadaptasi dari Wihdatush Shaffi Dharurah Syaikh Muhammad bin Abdullah Ad-Duwaisy (Majalah Islamiyah Syahriyah Al-Bayan, [Juli, 2002], hal. 30-36).